Rabu, 26 September 2012

SURGA,....?!!

Benarkah surga itu ada?
Apakah setelah mati, kita masih ada kehidupan lain?
Apakah surga itu hanyalh kebohongan yang dibuat manusia yang takut akan kematian?

      Menurut, Hawking kosmolog dan ahli fisika Stephen Hawking menepis anggapan adanya surga.
Hawking mengatakan"kepercayaan mengenai surga atau kehidupan setelah mati adalah 'cerita bohong' bagi orang-orang yang takut mati".
     Komentar Hawking tersebut sejalan dengan pendapatnya pada bukunya yang terbit pada 2010, The Grand Design. Di buku itu, Hawking menegaskan tidak perlu Sang Pencipta untuk menjelaskan keberadaan alam semesta. Buku tersebut memicu kecaman dari para pemimpin agama termasuk Rabbi Lord Sack. Sack menuding Hawking memiliki logika mendasar yang keliru.

     Menurut saya, ini semua tergantung dengan apa yang kita percayai sejak awal. Klau saya sendiri beranggapan surga itu "ADA".
     Menurut, Para ulama ‘arif (teosof), sufi, dan mutakallim (teolog) menjelaskan deskripsi lahiriah surga dan neraka di dalam Alquran dan hadits. Bagi mereka, wujud surga dan neraka tidaklah seperti penjelasan dzahirnya, semua deskripsi itu hanya perumpamaan. Surga dan neraka bukanlah tempat atau ruang. Keduanya adalah maqam.
     Pada hakikatnya, perjalanan manusia adalah mendekat atau menjauhnya wujudnya kepada Sang Wajibul Wujud, Dzat Allah Swt. Semua perbuatan baik dan amal saleh pada hakikatnya adalah aktifitas untuk semakin mendekatkan wujud manusia kepada Allah; sebaliknya amal buruk akan menjauhkannya dari Allah. Itulah sebabnya, amal baik itu memerlukan niat yang benar, agar tujuannya juga jelas.
    Perjalanan kembali kepada Allah itu sangat “panjang” dan “berliku”. Ibaratnya sebuah pendakian. Disanalah banyak perangkap dan tipuan yang bisa memalingkan seseorang dari tujuan akhirnya dan menggelincirkannya ke bawah, ke tempat terendah. Para ulama kemudian menjelaskan perangkap-perangkap itu dan bagaimana cara menghindarinya. Untuk memberikan petunjuk yang baik, para ulama juga menjelaskan capaian-capaian dalam perjalanan tersebut, itulah yang disebut maqam. Disini saya tidak akan menjelaskan istilah-istilah “teknis” karena hanya akan memperpanjang catatan ini. Silahkan merujuk kepada kitab-kitab tasawuf maupun irfan untuk mengenalnya lebih jauh.
    Singkatnya, perjalanan yang benar adalah menelusuri jalan kembali, “sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepadaNya pula kita akan kembali“. Rasa rindu kepada Wajibul Wujudlah yang memotifasi perjalanan ini. Semakin jauh “jarak”nya, mestinya semakin dalam pula rasa rindu itu. Jarak adalah siksaan, kedekatan adalah nikmat tiada tara.
   Perbuatan manusia di dunia menentukan “jarak”nya dengan Allah dan realitas wujudnya. Wujud manusia sejatinya ingin selalu kembali kepada asalnya, kepada Wujud Allah Swt. Ketika bentuk materi manusia terlepas setelah melewati pintu kematian, manusia menemukan wujud hakikinya. Saat itulah dia akan mulai mengetahui posisinya dimana, apakah “jauh” atau “dekat” dengan asalnya. Ketika dia “dekat”, dia akan merasakan kenikmatan tiada tara, kenikmatan yang tidak terbayangkan oleh pikiran sebelumnya. Sebaliknya jika ternyata dia “jauh”, dia akan merasakan penderitaan yang sangat menyiksa. Inilah kenikmatan dan siksa kubur.
    Setelah hari kiamat, manusia memasuki “periode” baru. Masa “penantian” sudah berakhir. Maka umat manusia akan “menemukan tempatnya” yang baru, tempat yang “dekat” atau tempat yang “jauh”. Sekali lagi, mereka yang hidupnya di dunia mendekat kepada Allah akan menemukan “tempat”nya disisiNya, sementara mereka yang memilih menjauh akan terlempar “tempat yang paling bawah”. Mereka akan diliputi siksaan yang sangat pedih, siksa karena terpisah dengan asalNya.
    Surga dan neraka adalah istilah dari “tempat” ini. Surga adalah tingkatan kedekatan kepada Allah sementara neraka adalah jarak dariNya. Itulah sebabnya surga dan neraka diceritakan bertingkat-tingkat. Nikmat di setiap surga pasti berbeda, demikian juga siksa di setiap neraka juga tidak sama. Bayangkan saja kerinduan kita kepada orang yang kita cintai. Semakin jauh kita dengannya, semakin diliputi kita kerinduan, kekhawatiran, dan kecemasan karenanya. Jangankan bertemu dengannya, ketika kita mulai naik kendaraan saja menuju kediamannya, hati kita sudah berbungan-bunga diliputi kegembiraan. Membayangkan bertemu saja kita sudah bahagia, apatah lagi berpelukan dengannya.
    Seperti itulah kerinduan para pencari Tuhan. Itulah sebabnya mereka tidak perduli rintangan dan halangan di perjalanan. Mereka juga tidak perduli dengan kenikmatan perjalanan atau kenikmatan lain yang akan ditemuinya di jalan. Mereka tidak mau terkecoh dengan tujuan-tujuan dan kenikmatan-kenikmatan antara dalam perjalanannya. Mereka tidak akan pernah puas sampai menemukan yang dicarinya. Ibaratnya, ketika kita hendak menemui orang yang kita rindukan, baru memulai perjalanan saja kita sudah bahagia. Naik kendaraan yang mewah saja tidak akan menghilangkan kerinduan itu, pelayanan yang sangat nikmat di kendaraan juga tidak membuat kita menghentikan perjalanan. Kita melakukan perjalanan ini bukan untuk mencari kenikmatan di jalan, tetapi karena ingin dekat dengan orang yang kita rindukan.
     Inilah argumen saya yang ketiga, argumen ‘urafa, sufi dan musyafir spiritual. Selanjutnya, saya ingin menyentuh sedikit argumen filosofi, argumen keempat.
     Para filosof menyebut dunia ini sebagai alam materi atau alam indrawi. Di atasnya adalah alam spiritual atau alam malakuti. Sederhananya alam non materi. Beberapa filosof bahkan menjelaskan lebih detail lagi, misalnya Mulla Shadra membagi alam menjadi indrawi, khayali dan aqli. Tetapi sekali lagi kita tidak perlu berpanjang lebar untuk menjelaskan istilah-istilah teknis di dalam ilmu filsafat ini. Kita sederhanakan saja karena saya juga tidak mengerti.
    Alam materi adalah alam di dalam ruang dan waktu. Ruang adalah panjang kali lebar kali tinggi. Selama ini, tempat yang kita pahami adalah sebuah koordinat atau rentang koordinat yang “terperangkap” oleh ruang dan waktu.
      Alam spiritual adalah alam non materi. Tentu saja, ia berada di luar ruang dan waktu. Maka tentu kita tidak bisa bertanya dimana dan bagaimana tentangnya, karena seluruh penjelasan yang kita berikan akan “terperangkap” dalam ruang dan waktu, yakni penjelasan yang “disini” dan “saat ini”. Adakah yang bisa menjelaskan wujud malaikat atau iblis? Jika bisa, maka keduanya akan termaterikan. Maka satu-satunya penjelasan yang bisa diterima “disini” dan “saat ini” tentang malaikat dan iblis adalah penjelasan yang termaterikan. Itulah mungkin bentuk lain dari sebuah perumpamaan.
     Jika kita menganggap bahwa surga dan neraka adalah mahkluk spiritual, maka tentu keduanya tidak bisa dijelaskan “sebagaimana adanya”. Jika keduanya makhluk spiritual dan non materi, keduanya berarti tidak punya ruang dan tidak punya waktu. Kalaupun hendak menjelaskannya, terpaksa kita mematerikannya. Karena itulah, penjelasan tentang surga harus menggunakan penyerupaan yang sudah dikenal; jika tidak, kita tidak akan bisa mengenalnya sama sekali. Inilah (mungkin) alasan Allah dan Rasulullah Saw memberikan penjelasan-penjelasan pisik mengenai surga dan neraka, pada saat yang sama Allah dan Rasulullah Saw mengatakan bahwa surga dan neraka tidak bisa dicapai oleh akal pikiran.
    Karena surga dan neraka bukan materi, dan karenanya tidak punya ruang dan waktu, dengan sendirinya keduanya bukanlah ruang itu sendiri. Disinilah titik pertemuan sederhana antara teosof dan filosof.   


Ringkasan

1.       Surga dan neraka adalah balasan Tuhan kepada manusia yang berada di luar capaian akal, tak pernah terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga
2.       Gambaran tentang surga dan neraka dalam Alquran dan Hadits adalah perumpamaan
3.       Surga dan neraka adalah maqam spiritual bagi para pencari Tuhan
4.       Surga dan neraka bukanlah materi, karenanya bukan sebuah ruang yang berada di dalam waktu.
5.       Surga bukanlah kenikmatan tertinggi, tetapi ridha Allah.

Referensi

1.       Fathul Barii, Jilid 17, Pustaka Azzam
2.       Terbakar Cinta Tuhan, Michael A. Sells, Mizan
3.       Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Ilahi
4.       Tafsir al-Azhar, Hamka, Pustaka Panjimas
5.       Terjemahan Alquran Depag
6.       Alquran Digital ver. 2.1, Agustus 2004
7.       Menuju Kesempurnaan, Mustamin (editor), Safinah
8.       Ensiklopedi Alquran, Quraish Shihab (editor), Lentera Ilahi
9.       Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Budhi Munawar Rachman, Paramadina
10.   Ensiklopedi Islam,  Ichtiar Baru Van Hoeve


Dan jangan lupa untuk share artikel sederhana ini ke FB atau acount jejring sosial networking lainya, untuk meramaikan kunjungan blog ini. Terimakasih....
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...